Ternak Kambing
Ternak kambing sebagai penghasil daging sudah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia umumnya dan masyarakat Sumatera Barat pada khususnya. Dagingnya cukup disenangi oleh masyararakat dan banyak dipakai atau dikonsumsi dalam upacara adat, agama, kenduri dan lain-lain.
Natasasmita (1979) menyatakan bahwa kambing Kacang merupakan kambing asli Indonesia yang mempunyai bobot hidup lebih kecil dibanding kambing jenis lainnya. Kambing Kacang memiliki keunggulan, mudah beradaptasi dengan lingkungan setempat dan angka reproduksinya cukup baik.
Pada dasarnya performans ternak kambing sangat dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Keduanya saling berinteraksi dan saling mendukung dalam meningkatkan dan mempertahankan produktivitas ternak. Faktor genetik adalah kemampuan yang bersifat baka yang dimiliki seekor ternak untuk tampil maksimal, sedangkan lingkungan merupakan kesempatan yang dimiliki ternak untuk mendukung potensial genetik yang dimilikinya.
Program peningkatan mutu genetik dan produktivitas ternak kambing asli Indonesia telah lama dilakukan oleh pemerintah antara lain melalui persilangan, seleksi serta penyebaran bibit unggul di wilayah nusantara. Pada zaman Hindia Belanda pernah didatangkan bangsa kambing Ettawah dari India, yang disebarkan diseluruh pantai utara Pulau Jawa (Anonimus, 1984). Hasil persilangan ini ternyata mampu meningkatkan produktivitas kambing lokal Indonesia. Usaha ini kemudiaan dilakukan lagi dengan mendatangkan pejantan Ettawah dan disebarkan secara meluas di berbagai daerah termasuk daerah Sumatera Barat. Hasil persilangan pejantan Ettawah dengan kambing Kacang dikenal dengan nama Peranakan Ettawah (PE) yang diduga terbentuk dari persilangan secara grading up.
Bobot badan kambing Kacang relatif rendah, yakni berkisar antara 25-30 kg (Devendra, 1994), belum mampu mencapai persyaratan minimal untuk tujuan ekspor guna memenuhi permintaan pasar di negara Timur Tengah yang menghendaki kambing dengan bobot potong antara 50-60 kg. Untuk mengantisipasi peluang pasar eskpor yang potensial tersebut maka adalah tepat dilakukan upaya meningkatkan produktivitas dan mutu genetik kambing Kacang melalui persilangan dengan bangsa kambing yang mempunyai potensi genetik tinggi seperti kambing Ettawah.
Mengingat daerah Sumatera Barat termasuk salah sebuah sentra yang memiliki potensi cukup besar untuk pengembangan kambing Kacang. Untuk itu diperlukan kajian yang komprehensif untuk memilih strategi dan pola pengembangan yang tepat serta diikuti dengan penentuan lokasi (daerah) yang tepat pula untuk dijadikan sebagai pusat pembibitan, pusat pengembangan serta pusat pemasaran.
Asal-Usul dan Performa Kambing Kacang
Ternak kambing merupakan salah satu jenis ternak ruminansia kecil yang sangat populer di kalangan petani di Indonesia. Devendra dan Burn (1994) menyatakan bahwa kambing Kacang merupakan kambing asli Indonesia dan Malaysia. Hal ini diperkuat oleh Natasasmita (1980) yang mengemukakan bahwa kambing Kacang adalah kambing asli Indonesia. Dengan demikian dapat menghilangkan keraguan yang dikemukakan oleh Samad (1973) dan Soedjai (1975), bahwa asal-usul kambing Kacang yang terdapat di Indonesia belum diketahui asal-usulnya secara pasti. Karena menurut Isa (1953), kambing Kacang yang ada di Indonesia diduga berasal dari India Muka yang dibawa oleh orang Hindu ke Indonesia beratus tahun yang lalu.
Menurut Devendra (1970); Natasasmita (1981) dan Tillman (1981) yang dikutip dalam Muis (1988), tanda-tanda umum dari kambing Kacang adalah : garis profil kepala lurus atau cekung, daun telinga pendek dengan sikap berdiri dan mengarah kedepan, panjangnya lebih kurang 15 cm, panjang tanduk jantan +10 cm sedangkan pada betina +8 cm, kambing betina rambutnya pendek kecuali bagian ekor dan kambing jantan rambutnya lebih panjang pada dagu (jenggot), tengkuk, pundak, punggung sampai ekor dan pada badan bagian belakang; warna rambut putih, hitam dan coklat atau kombinasi dari dua atau tiga warna tersebut. Kambing jantan tingginya 60-65 cm dan betina 56 cm, dengan bobot badan jantan 25-30 kg dan betina 20-25 kg.
Kambing Kacang terkenal karena ketahananya dan merupakan ternak yang tersebar luas, biasanya dipelihara dengan tujuan sebagai tabungan hidup, ternak potong, dan sumber pupuk kandang. Jumlah pemeliharaanya 3-5 ekor per keluarga petani (Deptan,1989). Kambing Kacang pada umumnya masih dipelihara secara tradisional yang sederhana dan pemberian makanan berasal dari alam sekitarnya. Williamson dan Payne (1969) berpendapat bahwa kambing dapat hidup menyesuaikan diri pada daerah-daerah tempat ternak lain sukar hidup. Menurut Natasasmita (1979), di daerah tropis kambing dapat tahan hidup terhadap kekeringan dan mempunyai daya adaptasi yang tingi pada lapang pengembalaan yang kurang memadai.
Ternak kambing dapat dipelihara di dataran tinggi dan dataran rendah, hanya terdapat perbedaan dalam tatalaksana pemeliharaannya. Di dataran tinggi ternak dikandangkan sepanjang tahun sedangkan di dataran rendah tatalaksananya berubah dari musim penghujan ke musim kemarau (Suardi et al., 1980).
Ternak kambing dapat berbiak dengan cepat. Pada umur enam bulan telah dewasa kelamin dan beranak pertama pada umur 12 bulan tergantung pada tatalaksana pemeliharaannya. Tatalaksana oleh peternak di pedesaan dapat memberikan pertambahan bobot badan harian sebesar 20-30 gram, tetapi tatalaksana yang baik dengan pemberian makanan yang cukup jumlahnya dan baik mutunya dapat memberikan pertambahanan bobot badan harian antara 50-150 gram (Deptan, 1989). Snap dan Newman (1969) menyatakan bahwa makanan adalah faktor penting untuk pertumbuhan. Walaupun seekor ternak memiliki potensi genetik tinggi, akan tetapi jika tidak disuport oleh makanan yang baik mutu dan cukup jumlahnya, maka ternak kurang dapat menampilkan potensi tersebut.
Menurut Devendra dan Burn (1994) kambing Kacang memiliki angka kesuburan yang tinggi. Jumlah anak lahir seperindukan adalah 2.2 ekor. Bobot lahir kambing Kacang menurut Devendra dan McLeroy (1982) yaitu 1.5 kg, sedangkan bobot dewasa pada jantan dan betina masing-masing 25 dan 20 kg. Abdulgani (1981) menyatakan bahwa rataan bobot lahir, bobot sapih dan bobot remaja pada kambing Kacang jantan dan betina berturut-turut adalah :2.1 dan 1.9 kg, 11.0 dan 9.7 kg, 15.8 dan 13.9 kg. Sementara itu Armiadi et al., (1981) mengemukakan bahwa bobot hidup kambing Kacang semakin meningkat dengan bertambahnya umur.
Performa Kambing Ettawah (Jumnapari)
Menurut Devendra dan Burn (1994), kambing Ettawah merupakan bangsa kambing yang paling populer dan dipelihara secara luas sebagai ternak penghasil susu di India dan Asia Tenggara. Merupakan kambing besar dan bertelinga panjang, berasal dari sekitar sungai Gangga, Jumna dan Chambal di India. Populasi kambing ini banyak terdapat di distrik Ettawah, sehingga lebih terkenal dengan kambing Ettawah.
Kambing Ettawah sangat baik sebagai ternak perah dan sebagai penghasil daging. Warnanya beraneka ragam, mulai dari merah, putih, coklat dan hitam. Telinganya menggantung dengan panjang kurang lebih 30 cm. Ambingnya berkembang baik. Profil mukanya cembung dan biasanya bertanduk pendek berbentuk pedang lengkung. Bobot badan jantan adalah sekitar 68-91 kg dan betina 36-63 kg. Tinggi gumba masing-masng 91-127 cm dan 76-107 cm. Kambing Ettawah biasanya melahirkan anak tunggal sekali dalam setahun (Devendra dan Burn, 1994).
Dengan adanya potensi unggul pada kambing Ettawah terutama untuk menghasilkan susu dan potensi pertumbuhannya, maka kambing ini digunakan secara luas diberbagai negara termasuk Indonesia dan Malaysia dengan tujuan untuk meningkatkan mutu genetik kambing asli Indonesia (kambing Kacang), melalui persilangannya dengan kambing Ettawah.
Aspek Produksi Ternak Kambing
Menurut Wahid et al., (1989) permintaan terhadap daging di Malaysia diperkirakan meningkat yaitu dari tahun 1986 sebesar 8 129 ton menjadi 13 188 ton pada tahun 2000. Ini sejalan dengan peningkatan pendapatan dan konsumsi penduduk terhadap daging (domba dan kambing). Namun peningkatan dalam pemotongan akan memerlukan peningkatan dalam produksi. Hal ini dapat dilakukan dengan usaha-usaha meningkatkan produksi dan menurunkan biaya produksi. Produksi dapat ditingkatkan dengan cara program breeding (seleksi dan persilangan), pemeliharaan kambing bersama tanaman (plantation crops), penggunaan ransum yang lebih murah dari sisa hasil pertanian tanaman pangan, pengurangan impor daging, meningkatkan kesehatan, perencanaan yang baik dan sistm organisasi pemasaran untuk distribusi lokal dan ekspor.
Metoda produksi ternak ruminansia kecil di daerah ropis telah dibentuk oleh pola usahatani yang telah ada. Rendahnya tingkat pemilikan tanah memaksa banyak petani untuk memelihara ternak dalam suatu metoda yang sangat intensif. Biasanya ternak dipelihara bersama dengan usahatani yang dilakukan. Pada sistem ini ternak dipelihara sebagai konsumen hasil sisa pertanian, sebagai tenaga penggarap lahan dan sebagai sumber protein ataupun untuk dijual.
Prospek Pengembangan Ternak Kambing Kacang
Menurut Soedjana dan Knipscheer (1985) program pengembangan ternak kambing di Indonesia ditujukan pada daerah pertanian lahan kering dan daerah yang memiliki lahan perkebunan besar di Jawa dan Sumatera. Peningkatan dilakukan dengan jalan :
- pelayanan penyuluhan yang intensif
- mendirikan pusat-pusat pembibitan ternak.
-menyediakan ransum dan fasilitas pemasaran
Kendala yang ditemui biasanya adalah pemilikan lahan yang kecil, akan mengurangi jumlah penyediaan pakan, keterbataan fasilitas transportasi (khususnya di Sumatera) dan masalah penyakit yang belum sepenuhnya teratasi.
Dikatakan bahwa produksi kambing merupakan suatu metoda transfer income yang tingi dari daerah kota ke pedesaan yang masih rendah incomenya. Selama ini daging umumnya dikonsumsi oleh golongan masyarakat berpenghasilan tinggi. Untuk itu diperlukan suatu teknologi baru melalui sistem penyuluhan langsung ke peternak. Pemeliharaan ternak kambing dapat dilakukan bersamaan dengan tanaman pangan.
Menurut Soedjana dan Knipscheer (1984) kredit ternak ruminansia kecil (kambing dan domba) ternyata sangat dirasakan dampak positifnya karena partisipannya mencakup banyak petani kecil yang kemudiaan dapat memiliki lebih banyak ternak untuk setiap satuan ternak dibanding ternak besar. Hal ini memungkinkan bagi petani untuk menjadikan ternak kambing sebagai sumber penghasilan yang cukup memadai.
Masalah pengadaan ternak kambing baik untuk memenuhi kebutuhan konsumen di kota yang semakin meningkat maupun untuk pengadaan stock bibit bagi keperluaan penyebaran dan pengembangan kambing di daerah-daerah. Sementara itu program perbaikan mutu genetik untuk meningkatkan produktivitas ternak kambing belum banyak mendapat perhatian yang wajar. Keadaan ini merupakan tantangan dan peluang untuk melaksanakan program peningkatan produktivitas kambing (Abdulgani, 1981).
Menurut Sandi et al., (1988) ternak ruminansia kecil mepunyai arti penting dalam memenuhi kebutuhan akan daging, susu dan sumber protein hewani. Masalah yang timbul dalam usaha pengembangan ternak kambing adalah terbatasnya data dari segi poduksi dan reproduksi yang ada di Indonesia, sebagai kerangka landasan penyusunan program peningkatan mutu genetik dan produktivitas kambing Kacang.
Faktor yang penting diperhatikan dalam pengembangan ternak kambing adalah ketersediaan sumber pakan, pengendalian penyakit, pemilikan lahan, keterampilan, daya dukung prasarana serta besarnya modal yang dimiliki. Ngadiyono et al., (1984) menyatakan bahwa ditinjau dari kemungkinan pengembangan ternak kambing, pemeliharaan tradisional di pedesaan masih cukup baik, karena dari beberapa data diperoleh tidak berbeda jauh dengan penelitian secara intensif. Dikatakan bahwa dengan manajemen yang lebih baik, produktivitas kambing dipedesaan masih dapat ditingkatkan.
Persilangan Kambing Kacang
Persilangan merupakan jalan pintas untuk memeeroleh individu-individu yang memiliki sejumlah sifat unggul yang dipunyai oleh kedua bangsa tetuanya. Hasil persilangan akan jauh lebih bagus dibandingkan dengan tindak seleksi. Persilangan kambing Ettawah dengan kambing Kacang ditujukan untuk meningkatkan bobot badan turunannya yaitu mencapai antara 40-50 kg sesuai dengan harapan bisa memenuhi permintan pasar di negara Timur Tengah yang sangat potensial. Persilangan dilakukan secara grading up. Menurut Warwick et al (1994), metoda grading up merupakan upaya cepat untuk memperbaiki mutu genetik ternak lokal terutama untuk sifat-sifat tertentu ke arah bangsa pejantan.
Grading up merupkan metoda perkawinan yang dilakukan ke arah bangsa pejantan yang digunakan dengan tujuan populer untuk meningkatkan mutu genetik dan produktivitas ternak loal dalam waktu yang tidak terlalu lama. Persilangan dilakukan antara pejantan murni dari bangsa tertentu dengan betina ternak lokal terpilih dan diikuti dengan cara yang sama terhadap tunuan betina. Kualitas dan produktivitas hasil grading up hampir seluruhnya tergantung pada kualitas genetik bangsa pejantang yang digunakan dalam proses persilangan. Biasanya metoda ini bila suatu bangsa diintroduksikan ke dalam suatu wilayah atau negara dalam jumlah sedikit dan diinginkan jumlahnya meningkat dalam waku cepat. (Warwick et al., 1994).
Di negara sedang berkembang, ternak tidak diseleksi secara intensif utnuk sifat tertentu seperti pertambahan bobot badan, akan tetapi bangsa ternak asli sering mempunyai resistensi yang tinggi terhadap parasit, toleransi tinggi terhadap keadaan cuaca yang kurang menguntungkan serta dapat tumbuh baik pada kondisi pakan yang berkualitas jelek. Bila disilangkan dengan bangsa ternak prduktif dari negara lain, maka turunan pertamanya sering lebih baik hasilnya dibanding dengan ternak asli. Turunan ini ternyata menggabungkan gen-gen untuk produktivitas dengan daya adaptasi dari keduan tipe tetuanya dan akan meningkatkan heterosis effec (Warick dan Legates, 1979). Tetapi perlu diperhatikan bahwa kelemahan grading up adalah bila persilangan dilakukan secara terus menerus ke arah bangsa import, maka sifat heterosis dan kualitas adaptasi dapat hilang serta produksi dapat menurun dan bahkan jauh lebih rendah dari bangsa aslinya. Karena itu sebelum melaksanakan program grading up, maka harus direncanakan sampai generasi keberapa persilangan dilakukan dan untuk tujuan apa turunan persilangan tersebut digunakan.
Seperti diketahui, apa yang diharapkan dari persilangan adalah adanya efek heterosis dalam beberapa sifat produksi sehingga melebihi rataan kedua bangsa tetuanya. Pada ternak kambing yang diharapkan adalah kecepatan pertumbuhan yang tinggi sehingga mencapai bobot potong muda yang cukup tinggi, kualitas karkas yang baik dan penggunaan pakan yang efisien serta daya adaptasi dengan lingkungan yang cukup baik. Telah lazim pula bahwa metoda kawin silang digunakan untuk memproleh individu yang memiliki sifat produksi unggul dalam waktu singkat.
Berdasarkan kelebihan dan kekurangan metoda persilangan secara grading up dan memperhatkan persyaratan minimum yang dinginkan pasar, maka hasil persilangan kambing Ettawah dengan kambing Kacang diperkirakan dapat dilakukan sampai generasi ketiga.
Program Kawin Silang
Seperti telah disinggung sebelumnya, penyilangan merupakan jalan pintas untuk memperoleh individu-individu yang memiliki sifat unggul yang dimiliki oleh kedua bangsa tetuanya. Beberapa sifat unggul dari kambing Kacang yang ingin dimiliki adalah sifat resistensi tinggi terhadap parasit, daya tahan tinggi terhada perubahan cuaca, kemampuan bertahan hidup pada kondisi pakan berkualitas rendah serta tingkat reproduktivitas yang cukup tiggi. Sifat unggul yang diharapkan dari kambing Ettawah adalah sifat pertumbuhannya yang cepat, kualitas karkas yang cukup baik serta adaptasi terhadap lingkungan yang cukup baik juga.
Dari kambing persilangan kita kehendaki adanya heterosis dalam performa produksinya. Heterosis merupakan fungsi dari perbedaan keturunan persilangan dari rataan keturunan murni. Program kawin silang bisa dimanfaatkan dalam produksi kambing sebagai cara untuk menghasilkan produk akhir atau biasa disebut penyilangan terminal atau terminal cross. Cara ini dimaksudkan untuk menghasilkan persilangan yang kemudiaan seluruhnya dijadikan kambing potong untuk memenuhi permintaan pasar. Diperkirakan bahwa hasil persilangan ini berpotensi untuk dijadikan kambing potong pada usia muda umur 5-8 bulan. Program persilangan terminal ini tampaknya bisa dilakukan di beberapa daerah tingkat II di Sumatera Barat. Daerah demikian kita sebut saja daerah produksi bakalan.
Persyaratan yang harus dipenuhi agar program ini dapat berjalan adalah (1) tersedianya kambing Kacang betina setiap waktu untuk keperluan persilangan di daerah produksi bakalan. (2) harus tersedia pula pejantan impor (Ettawah) untuk keperluan daerah produksi bakalan. Dengan demikian diperlukan adanya daerah penangkaran atau pembibitan, baik untuk kambing Kacang maupun untuk kambing Etawah. Sehubungan dengan pembagian daerah tersebut, maka daerah produksi bakalan sebaiknya tidak jauh dari pusat pemasaran sedangkan daerah penangkaran diletakkan di daerah yang sesuai.
Pejantan impor (Ettawah) akan diperlukan untuk keperluan kawin silang ini harus tersedia jika program ini akan dilaksanakan dalam jangka panjang. Cara pelaksanaan program ini ada dua kemungkinan, yaitu dengan kawin alam ataupun melalui inseminasi buatan. Mengingat jumlah pejantan yang diperlukan sangat tinggi sekali bila dengan kawin alam, maka pada tahap awal cara inseminasi buatan akan dapat mengurangi biaya pengadaan pejantan impor. Bagaimanapun juga kita harus memperbanyak jumalh pejantan impor sampai batas mencukupi untuk keperluan program.
Penangkaran dan perbanyakan jumlah pejantan Ettawah dapat dilakukan dengan melakukan perkawinan murni. Sedangkan penangkaran kambing Kacang dapat dilakukan dengan mengikut sertakan peternak yang sudah berpengalaman.